Persepektif Penerapan Hukum Baru Pidana Mati, Jaksa Solo Rahayu : Kasuistik

Diskusi panel bertajuk "Perspektif Hukum Pidana Mati Pasal 100 Ayat 1 UU No.1 tehun 2023 tentang KUHP Baru dan Terhadap Putusan Inkrah Pidana Mati yang Telah Divonis Berdasar KUHP Lama UU No.1 Tahun 1946," yang digelar di Sahid Jaya Hotel baru-baru ini.

Tema : Hukum | Penulis : Agung Huma | Foto : Agung Huma | Pengunggah : Elisa Siti

"Saya tidak tahu penyusun undang undang ini, merujuk kisah terhukum mati selama ini atau tidak," __Jelas salah satu jaksa Kejaksaan Negeri Kota Solo Rahayu SH. MH.

SOLO- Proses menjalankan hukuman terhadap terpidana mati selama ini kasuistik. Ini yang menjadi perspektif dari salah satu jaksa Kejaksaan Negeri Kota Solo Rahayu SH. MH. Dalam hal ini untuk penerapan Hukum Pidana Mati Pasal 100 Ayat 1 UU No.1 tehun 2023 tentang KUHP Baru.

"Saya tidak tahu penyusun undang undang ini, merujuk kisah terhukum mati selama ini atau tidak," jelasnya.

Pengalamannya diceritakan menangani Mary Jane Veloso warga Filipina yang divonis mati. Yang bersangkutan ditarik hukuman tembak atas kasus karena membawa heroin. Dari negara jiran terungkap wanita ini diperdaya mengirim tas ke Indonesia dari seorang gembong narkotika.

"Sebelum dieksekusi, dia sudah melakukan peninjauan kembali dan Grasi. Semua ditolak," ujarnya.

Penarikan hukuman ini, padahal sudah inkrah secara hukum Indonesia. Sepanjang menjalani hukuman berperilaku baik. Lanjutnya, kondisi ini dihadapkan dengan pasal 10 undang undang tersebut. 

"Merujuk kisah ini, kita lihat pada pasal 100, disitu ada percobaan 10 tahun. Bagaimana penerapan pasal ini, cocok gak," ucapnya kepada peserta diskusi panel.

Karena berkelakuan baik, bukan penjahat, dan bukan gembong narkotika internasional. Nasib ini seperti halnya terpidana Merry Utami yang menjalani 20 tahun lebih di Lapas Semarang. Hal ini berbeda kasus bom terorisme Amrosi CS yang meninggal 2000 orang berdampak nasib keluarganya. 

"Kalau mereka dikasih percobaan ini, rela enggak, pasti gak rela kan. Karena korbannya banyak, dan bangunan banyak yang rusak," ujarnya.

Sebenarnya sebagai jaksa juga punya hati nurani yang dipertarungkan untuk proses ini. Selanjutnya, pemerintah harus menganggarkan sedikitnya Rp200 juta untuk melaksanakan pidana mati. Terakhir, pidana mati pada tahun 2015 dengan terpidana mati gembong narkoba, Freddy Budiman. 

"Itu terakhir kali Pemerintah menggelar pidana mati. Untuk prosesnya biasanya berkoordinasi dengan pihak Brimob sebagai eksekutornya," jelasnya.

Pada kesempatan itu Rahayu menjadi pemateri diskusi panel digelat ongres Advokat Indonesia (KAI) Jateng. Dalam acara itu Ketua KAI Jawa Tengah, Asri Purwanti sengaja mengakat topik ini. Menurutnya, pasal tersebut cukup membingungkan masyarakat karena masa percobaan.

"Bagaimana penerapan ketentuannya jika para terpidana yang terkena vonis mati dan belum dieksekusi," jelasnya. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persis Solo Menang Dari Rans, Empat Kali Berturut-turut Berpeluang Menuju Empat Besar

PDI P Solo Cari Cawali Buka Penjaringan Untuk Umum Dan Berharap Tidak Jalan Pintas

Startegi Khusus Gibran Menarik Suara Pemilih Pilpres 2024