Pengamat Menilai Konversi Gas ke Kompor Listrik Karena Kelebihan Oversuply Listrik, Warga Ingin Pemerintah Meninjau Kembali Kebijakan

Salah satu warga di kawasan Laweyan Solo menggunakan kompor listrik.

Tema : Sosial | Penulis : Agung Huma | Foto : Agung Huma | Pengunggah : Elisa Siti

"Kelebihan ini tidak bisa disalurkan sehingga kemudian keputusannya adalah PLN akan meningkatkan daya listrik di masyarakat," __Ujar Pengamat Kebijakan Publik dari Kota Solo, Anton Agus Setyawan.

SOLO- Kebijakan pengalihan penggunaan kompor gas elpiji ke kompor listrik dinilai oleh kalangan pengamat. Seperti Pengamat Kebijakan Publik dari Kota Solo, Anton Agus Setyawan. Menurutnya, ini sebatas pengalihan masalah, dimana fakta terjadi karena oversupply atau kelebihan pasokan listrik. 

"Kelebihan ini tidak bisa disalurkan sehingga kemudian keputusannya adalah PLN akan meningkatkan daya listrik di masyarakat," ujarnya.

Maka salah satunya dengan mengkonversi elpiji ke listrik. Alasan lain kebijakan itu, terkait kenaikan bahan bakar minyak atau BBM fosil, minyak bumi dan sebagainya. Namun itu semua, ia kembali pada persoalan kelebihan daya atau pasokan listrik yakni sumbernya. 

"Bersumber dari pembangunan sejumlah pembangkit tenaga listrik atau PLTU oleh PT PLN tahun 2010 lalu," terangnya.

Pemerintah sudah investasi dengan membangun banyak sekali PLTU dengan tenaga batu bara. Ketika batu bara murah dengan PLTU banyak maka produksi listrik oversupply. Dan sekarang bingung untuk pendistribusiannya.

"Sehingga kemudian pakai cara itu (konversi gas elpiji ke listrik)," kata Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Anton juga menyoroti subsidi yang diberikan oleh PT. PLN. Jika iti nantinya program konversi itu dilaksanakan. Padahal gas elpiji masih subsidi maka bisa diartikan cuma memindah subsidi.

"Nah, dengan ini menunjukkan bahwa kebijakan itu diambil karena ada masalah oversupply listrik tadi. Dalam rangka supaya supply nanti tidak terjadi kelebihan. Hal ini di karena tidak terdistribusi dengan baik," tuturnya.

Menurutnya, ini sebatas memindahkan masalah dan bukan menjadi sebuah solusi.Dalam hal ini untuk mengatasi permasalahan keterbatasan sumber daya energi listrik. Ia mengingat batu bara juga termasuk sumber energi tak terbarukan sehingga suatu saat juga akan habis. Kalau pemerintah pemerintah ingin mengatasi masalah energi dengan konversi masih banyak sumber.

"Sumber listriknya bisa dari energi matahari, panas bumi, air, atau angin, semua yang tidak berasal dari energi fosil yang tak terbarukan," katanya lagi. 

Salah satu warga di kawasan Laweyan Solo menggunakan kompor listrik.

Dalam kesempatan berbeda, rencana program konversi dipilih Kota Solo oleh PLN menjadi pilot project. Masyarakat yang menjadi sasaran yakni Keluarga Penerima Manfaat. Mereka mendapatkan bantuan berupa kompor listrik beserta alat masaknya. Bantuan ini sendiri dibenarkan Camat Banjarsari, Solo, Beni Supartono Putro. 

“Sementara ini di Banjarsari yang mendapatkan promosi bantuan kompor 289. Rencana di bulan November ini akan ada tambahan lagi kepada masyarakat kurang mampu,” katanya.

Salah seorang warga Solo yang telah mendapatkan bantuan itu, Restu Utami, menuturkan. Restu mengakui pemakaian kompor listrik lebih muda, praktis, mudah dibersihkan, dan biaya listrik terjangkau.

"Kalau penggunaan kompor listrik ini misalnya untuk menggoreng telur atau masak air," kata dia.

Hal ini berbeda penggunaan kompor gas elpiji yang mampu bertahan lama untuk memasak makanan. Ia juga menyediakan didapurnya kompor gas elpiji. Menurutnya, kelemahan kompor listrik pada saat listrik padam karena tidak bisa digunakan.

"Makanya saya tetap pakai kompor gas tapi kompor listrik juga untuk masak tertentu," ucap dia.

Beberapa warga Kots Solo seperti Ria merasa kuatir akan memakan energi listrik besar, dan biaya listrik menjadi tinggi. Kekuatiran senada juga dirasakan Ny. Marno sebagai pedagang kecil warung soto itu.

"Listrik di rumah saya dulu hanya 450 itu saya bayar setiap bulan hanya Rp 36 ribu karena ada subsidi. Sekarang listrik saya 900, saya bayarnya saja sudah sekitar Rp 300 ribu per bulan. Belum nanti pakai kompor listrik," ujarnya.

Mereka berharap pemerintah akan meninjau kembali kebijakan konversi itu. Hal ini dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat kecil. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persis Solo Menang Dari Rans, Empat Kali Berturut-turut Berpeluang Menuju Empat Besar

PDI P Solo Cari Cawali Buka Penjaringan Untuk Umum Dan Berharap Tidak Jalan Pintas

Startegi Khusus Gibran Menarik Suara Pemilih Pilpres 2024